Jakarta – Di tangan Jokowi, desa yang semula termarginalkan dari pembangunan, menggeliat naik kelas. Lewat dana desa, mereka mengentaskan pendidikan, ekonomi dan kemiskinan.
Sosoknya sederhana. Tak ada sesuatu yang wah membalut tubuhnya. Baju, celana, sepatu, jam tangan, angkanya ditaksir tak mencapai jutaan: kisaran Rp 500 ribuan.
Tak hanya itu. Ir. Joko Widodo, demikian Presiden RI ke-7 ini – meminjam istilah pengamat politisi Arbi Sanit – minim relasi elite politik nasional.
Ia bukan pendiri Partai macam Amien Rais, Surya Paloh, Megawati, Gus Dur, SBY dan sebagainya. Ia juga bukan “trah” konglomerat, bukan pengusaha kaliber nasional, kecuali “tukang kayu” yang membuat furniture.
Sosoknya yang sederhana itu menjadi “jualan” partai pengusungnya, PDI Perjuangan. Lagi-lagi di situ, dia adalah bukan faunding father partai, bukan kader yang sekelas Laksamana Sukardi, Mangara Siahaan, Sophaan Sophiaan dan sederet kader yang berjuang melawan penguasa 32 tahun rezim Orde Baru.
Tapi siapa sangka, kesederhanaannya – malah jadi seloroh sebagai wong deso, ternyata membawa berkah. Berpasangan dengan Jusuf Kalla, “wong deso” asal Solo itu tercatat sebagai Presiden RI ke-7, menggantikan SBY yang dikenal arsitek reformasi TNI.
Siapa sangka, wong desa yang mantan Walikota Solo ini, benar-benar membawa berkah. Ia bukan hanya menggebrak pembangunan infrastruktur, tapi juga bak kaisar perang Cina, Sun Tzu. Ia bergerak membangun Indonesia dari
desa, sesuatu yang kurang disentuh oleh Orde Baru.
Lho buktinya, dana yang dialokasikan terus meningkat selama empat tahun kepemimpinannya. Diawali kucuran Rp 20 triliun, lalu meningkat di tahun-tahun berikutnya jadi Rp 20 triliun hingga Rp 47 triliun, Rp 60 triliun di 2018, lalu menjadi Rp 70 triliun 2019. Tak hanya itu, masih di 2019, pemerintah juga menyalurkan dana kelurahan Rp 3 triliun.
Selain dana desa, melalui kerja keras Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), dana desa kurun waktu 4 tahun memberikan pengaruh signifikan terhadap isi kocek masyarakat pedesan hingga 50 persen.
Tercatat di 2014 pendapatan per kapita masyarakat yang semula Rp 572 per orang per bulan, lalu meningkat menjadi Rp 802 ribu per orang setiap bulan. Angka tersebut, jika tetap dipertahankan, maka enam tahun ke depan, kocek masyarakat pedesan bisa mencapai Rp 2 juta per bulan.
Sementara dana desa yang digulirkan sejak 2015 memperlihatkan hasilnya, terutama menekan kemiskinan, ekonomi dan pendidikan dari 50 kabupaten di Indonesia. Target itu jadi indikator kinerja Kemendes PDTT sampai 2019. Sedangkan 2018 lebih setengah dari target bisa tercapai, yaitu mengintervensi di 27 kabupaten dari target 50 kabupaten yang harus dientaskan, meliputi pendidikan, kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi di daerah masing-masing.
Kemendes PDTT melalui programnya menargetkan kabupaten yang rendah pada tiga indikator dapat naik kelas jadi lebih baik. Lagi-lagi impactnya dari dana desa, yang sudah diakui pengaruhnya oleh beberapa negara. Tercatat ada 23 negara mengirim dutanya untuk belajar mengelola dana desa dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Malah IFAD, Bank Dunia menjadikan Indonesia sebagai model pembangunan desa di dunia.
(Red)