Sumatera Utara – Tindakan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat belum berhenti. Bahkan, proses-proses hukum yang terjadi kepada korban kriminalinalisasi itu pun tidak memberikan keadilan.
Karena itu, aparat penegak hukum di desak untuk membebaskan para korban kriminaliasi masyarakat adat.
Gerakan Masyarakat Sipil Sumatera Utara, meminta dihentikannya kriminalisasi terhadap masyarakat adat.
Salah seorang jurubicara Gerakan Masyarakat Sipil Sumatera Utara, Roganda Simanjuntak, yang juga Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) Wilayah Tano Batak menegaskan, aparat kepolisian, khususnya Polisi di Sumatera Utara hendaknya segera menangkap para pelaku kriminalisasi kepada masyarakat adat. Dan segera membebaskan anggota masyarakat adat yang mengalami kriminalisasi.
“Mendesak Polda Sumatera Utara dan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara untuk segera membebaskan Jhoni Ambarita dan Thomson Ambarita,” tutur Roganda Simanjuntak, dalam pernyataan Gerakan Masyarakat Sipil Sumatera Utara, Minggu (01/12/2019).
Roganda Simanjuntak menuturkan, pada Kamis (28/11/2019), Gerakan Masyararakat Sipil Sumatera Utara telah menggelar aksi massa dengan menggeruduk kantor Polda Sumatera Utara dan kantor Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara.
Gerakan Masyararakat Sipil Sumatera terdiri dari elemen Masyarakat Adat, Mahasiswa dan Organisasi Masyarakat Sipil lainnya.
Aksi massa dengan mengusung tuntutan Hentikan Kriminalisasi Terhadap Masyarakat Adat itu melibatkan massa aksi yang terdiri dari Masyarat Adat Sihaporas, Masyarakat Adat Dolok Parmonangan, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) Tano Batak, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia- Sumatera Utara (Walhi Sumut), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu), Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Hutan Rakyat Institute (HaRI), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Sumatera Utara (KontraS Sumut), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sumatera Utara (Aman Sumut), Sekretariat Bersama Reforma Agrasia Sumatera Utara (Sekber RA Sumut), Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI), Lembaga Bantuan Hukum Medan (LBH Medan), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Sumatera Utara (PBHI Sumut), Keluarga Besar Mahasiswa Fakultas Pertanian (KBM Faperta), Kelompok Studi Mahasiswa Barisan Demokrat (BarsDem) dan lain sebagainya.
Dalam aksi massa itu, lanjut Roganda, Gerakan Masyarakat Sipil Sumatera Utara juga dengan tegas mendesak Polda segera menangkap Humas PT Toba Pulp Lestari (TPL) Bahara Sibuea.
Sebab, Bahara Sibuea telah dilaporkan oleh Thomson Ambarita atas dugaan tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh Bahara Sibuea sebagai Humas PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) kepada dirinya dan Masyarakat Adat Sihaporas.
Kejadiannya pada tanggal 16 Septemteber 2019, di di Buntu Pangaturan Desa Sihaporas, peristiwanya terjadi sekitar pukul jam 11. 30 WIB. Jadi, Bahara Sibuea telah dilaporkan berdasarkan Laporan Polisi No.: STPL/84/IX/2019, tanggal 18 September 2019.
“Meminta Polda Sumatera Utara untuk melakukan pengawasan dalam penanganan perkara dan menetapkan Bahara Sibuea sebagai Tersangka atas dugaan penganiayaan terhadap pelapor Thomson Ambarita,” tutur Roganda Simanjuntak.
Gerakan Masyarakat Sipil Sumatera Utara juga mendesak aparat penegak hukum untuk bertindak secara profesional, proporsional, dan imparsial dalam melakukan pengaman dalam perjuangan aksi- aksi yang dilakukan masyarakat adat.
Selanjutnya, mendesak aparat penegak hukum bertindak profesional dalam berbagai kasus Konflik Agraria dan kasus-kasus lingkungan hidup. Maupun berbagai kasus struktural lainnya menempatkan rakyat, seperti Masyarakat Adat, Buruh, Petani, Buruh Tani, Nelayan, dan Kelompok Rakyat Marjinal lainnya, sebagai pihak yang menjadi korban, yang rentan dikriminalisasi.
“Mendesak, hentikan aktivitas PT Toba Pulp Lestari (TPL) di wilayah adat. Menghentikan perampasan tanah, wilayah adat dan hutan adat di Kawasan Danau Toba,” ujar Roganda.
Gerakan Masyarakat Sipil Sumatera Utara juga, mendesak Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara untuk membuat diskresi kepada Thomson Ambarita dan Jonny Ambarita.
Gerakan Masyarakat Sipil Sumatera Utara juga mengkampanyekan dan pelanggaran-pelanggaran seperti perampasan hutan adat dan wilayah adat, pencemaran lingkungan, dan pengrusakan hutan yang dilakukan oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Jurubicara Gerakan Masyarakat Sipil Sumatera Utara lainnya, Roy Lumban Gaol menjelaskan, banyaknya konflik agraria di Sumatera Utara telah memposisikan petani, buruh tani dan masyarakat adat, nelayan, dan kelompok marjinal lainnya sebagai korban.
Tanah-tanah petani, wilayah adat, hutan adat milik masyarakat adat telah menjadi objek konsesi perusahan perkebunan dan hutan tanaman industri.
“Dan semua ini seolah dibiarkan begitu saja oleh Negara. Rakyat menjadi korban perampasan lahan. Bahkan habisnya konsesi perkebunan tidak serta merta menjadikan tanah yang menjadi objek konflik tersebut bisa dikuasai petani dan masyarakat adat,” jelas Roy Lumban Gaol.
Di dataran tinggi Sumatera Utara, dijelaskan dia, perampasan wilayah adat ataupun hutan adat masih terjadi hingga saat ini.
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu), Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Hutan Rakyat Institute (HaRI) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) Tano Batak mencatat, ada 12 komunitas masyarakat adat yang tanah dan wilayahnya telah dikuasai secara turun-temurun, namun jatuh ke tangan negara.
“Namun, oleh Negara, sejak zaman Orde Baru Soeharto malah diberi hak pengelolaan hutannya kepada PT Inti Indorayon Utama (PT IIU) yang sekarang menjadi PT Toba Pulp Lestari. Hadirnya perusahaan tersebut menjadi penyebab konflik Masyarakat Adat dengan Perusahaan Hutan Tanaman Industri di sekitaran Danau Toba,” tutur Roy Lumban Gaol.
Protes dan tuntutan pengembalian wilayah adat yang dilakukan oleh masyarakat adat masih sering berujung kriminalisasi.
Mereka mempersoalkan perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang telah menghancurkan hutan adat.
Namun, lanjuutnya, ketika Masyarakat Adat bercocok tanam di wilayah adatnya, seringkali pihak keamanan perusahaan menghalang-halangi, hingga berujung bentrok.
“Dan juga sering berujung kriminalisasi yang memposisikan Masyarakat Adat sebagai korban. Seperti yang dialami oleh Masyarakat adat Sihaporas di Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun,” terangnya.
Pada 16 September 2019, saat Masyarakat Adat sedang berladang di wilayah adatnya, pihak keamanan perusahaan PT Toba Pulp Lestari (TPL) datang meminta warga berhenti berladang di wilayah adat yang diklaim masuk konsesi perusahaan.
Bentrok dan tindakan saling pukul pun tidak dapat dihindarkan. Pihak Perusahaan dan masyarakat adat pun saling melaporkan kejadian ke pihak Kepolisian.
“Masyarakat adat melaporkan penganiayaan terhadap masyarakat adat dan balita yang turut menjadi korban saat kejadian tidak disidik aparat Kepolisian,” tutur Roy Lumban Gaol.
Anehnya, kata dia, Kepolisian justru menahan Thomson Ambarita dan Jonny Ambarita atas laporan TPL yang mengadu dugaan penganiayaan orang atau benda.
“Keduanya ditangkap saat Kepolisian melakukan pemeriksaan terhadap Thomson Ambarita dan Jonny Ambarita selaku Pelapor dan Saksi terkait tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh Humas Perusahaan,” ungkapnya.
Penetapan Jonny Ambarita dan Thomson Ambarita sebagai tersangka adalah bentuk nyata kriminaliasi yang dialami masyarakat adat. Thomson Ambarita telah ditetapkan sebagai tersangka atas Laporan Polisi No. Pol. LP/226/IX/2019/SU/Simal tanggal 16 September 2019.
Dan berujung pada penetapan Tersangka dan Penangkapan terhadap Jonny Ambarita berdasarkan surat Perintah Penangkapan No. Pol.: Sip. Kap/149/IX/2019/Reskrim bertanggal 24 September 2019.
Thomson Ambarita ditangkap berdasarkan Surat Perintah Penangkapan No. Pol.: Sip. Kap/150/IX/2019/Reskrim tanggal 23 September 2019. Kemudian atas nama Jonny Ambarita ditangkap Penyidik Reskrim Polres Simalungun IPTU B Hengky Siahaan, berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor : Sp. Dik /375/IX/2019/Reskrim tanggal 18 Semtember 2019.
Roy mengatakan, penetapan tersangka dan penangkapan tehadap Thomson Ambarita dan Jonny Ambarita tersebut memperlihatkan bahwa Laporan Polisi No. Pol. LP/226/IX/2019/SU/Simal tanggal 16 September 2019, yang dilaporkan oleh Bahara Sibuea, dkk, sangat cepat diproses oleh penyidik Polres Simalungun.
Hal itu berbanding terbalik dengan lambannya penanganan Laporan Polisi No.: STPL/84/IX/2019 tanggal 18 September 2019, yang dilaporkan oleh Thomson Ambarita sebagai korban dan Bahara Sibuea sebagai Pelaku Penganiayaan.
“Namun, Hingga saat ini, Laporan Thomson Ambarita masih belum dinaikkan statusnya ke tahap penyidikan. Bahara Sibuea belum ditetapkan sebagai Tersangka atas dugaan Tindak Pidana penganiayaan terhadap Thomson Ambarita. Meskipun 2 alat bukti sudah terpenuhi unsurnya,” ujar Roy.
Dia melanjutkan, berdasarkan hasil visum et revertum yang dikeluarkan oleh RSUD Tuan Rondahaim Pematang Raya dan hasil rekam medik yang dikeluarkan UPDT Puskesmas Pematang Sidamanik, telah ditemukan adanya luka lebam di punggung Thomson Ambarita akibat pukulan benda tumpul.
Kemudian, dari hasil pemeriksan saksi korban Thomson Ambarita dan saksi-saksi lain yang melihat peristiwa tindak pidana tersebut secara langsung.
“Hal-hal tersebut semakin menguatkan bahwa Humas PT TPL telah melakukan tindak pidana penganiyaan terhadap Thomson Ambarita,” tegas Roy.
Oleh karena itu, Gerakan masyararakat sipil Sumatera Utara yang terdiri dari elemen Masyarakat Adat, Mahasiswa, Petani, dan organisasi masyarakat sipil melakukan aksi massa dan akan terus menuntut aparat penegak hukum, terutama Polisi dan Jaksa, agar melepas korban kriminalisasi dan menghentikan kekerasan kepada masyarakat adat. “Hentikan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat,” tegasnya.
(Dapit/Tim)