Peladang Bukan Penjahat Lingkungan Bebaskan Warga Tak Bersalah Dari Jeratan Hukum

oleh
oleh

Palangka Raya – Kejadian ini terjadi di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah (Kalteng). Dua orang Peladang dituduh dan didakwa sebagai penjahat yang melakukan kejahatan Kebakaran Hutan dan Lahan

Sungguh tidak adil, Gusti Maulidin (63) dan Sarwani (50) warga Desa Rungun, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat, hari Senin (25/11/2019) duduk di kursi pesakitan.

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) Kotawaringin Barat, Mardani mengungkapkan, keduanya dipaksakan menjadi terdakwa kasus kebakaran hutan dan lahan, karena saat membuka ladang untuk menanam padi seluas kurang dari satu hektar.

Mereka dijerat dengan pasal berlapis. Pertama, dengan Pasal 108 Junto 69 Ayat 1 Huruf H Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Kedua, dengan Pasal 78 Ayat 3 junto Pasal 50 Ayat 3 Huruf D, Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan junto Undang-Undang No 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ketiga, Pasal 187 ke-1 KUH Pidana. Keempat, Pasal 188 KUH Pidana.

“Gusti Maulidin dan Sarwani adalah Masyarakat Adat, yang secara turun-temurun mewarisi budaya membuka lahan terbatas untuk berladang dengan cara membakar. Bagi mereka, membakar hanya sebatas untuk kepentingan ketahanan pangan lokal, tidak untuk merusak lingkungan hidup,” tutur Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) Kotawaringin Barat, Mardani, Minggu (01/12/2019).

Undang-Undang U No 32 tahun 2009 pasal 69 ayat 2 pun menjamin itu, dengan bunyi Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.

“Ingat, Pasal ini hingga hari ini belum dicabut loh,” ujar Mardani.

Dia melanjutkan, penting juga untuk diketahui, lahan yang dibuka dengan cara membakar oleh Gusti Maulidin, secara riil bukan lagi tutupan hutan. Kawasan itu sudah berulang kali dijadikan tempat berladang.

Dahulunya, selain padi, di lahan itu pernah ditanami karet (para), kopi, dan rotan. Secara tradisi berladang sebenarnya justru berkontribusi bagi lingkungan hidup.

“Ini berbeda dengan istilah ladang berpindah, yang dituduh merusak alam, karena selalu berpindah ke lokasi yang baru,” ujar Mardani.

Mardani mengatakan, dengan melihat dakwaan terhadap peladang Masyarakat Adat ini, tidak tepat. Mereka bukanlah penyebab bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) selama ini.

“Kami justru bertanya, mengapa penegakan hukum karhutla lebih gencar pada peladang kecil, dibanding korporasi, yang beberapa di antaranya diketahui menjadi biang karhutla,” ujarnya.

Dia menegaskan, peladang bukanlah penyebab bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan selama ini.

“Mereka bukan penjahat, tetapi diperlakukan seperti penjahat lingkungan. Berladang sudah menjadi tradisi turun-temurun . Harusnya mereka dilindungi karena itu pun menjadi perintah Undang-Undang, bukan malah di kriminalisasi terus,” cetusnya .

Dikatakan Mardani, mereka membakar lahan itu fungsinya untuk penyuburan tanah. Dari sanalah mereka menghasilkan beras organik terbaik. Mereka tidak punya maksud melanggar hukum. Mereka bukan anti terhadap cara lain dalam membuka lahan, selama mereka bisa melakukannya. “Tapi, faktanya, mereka belum mendapatkan solusi hingga saat ini,” ujarnya.

Dia mengungkapkan. kasus Masyarakat Adat berladang yang dikriminalisasi terjadi tiap tahun. Bila ini dibiarkan lama-lama, maka peladang akan habis dipenjarakan.

Sementara, instruksi buka lahan tanpa bakar tidak pernah memberikan solusi konkret bagi peladang di lapangan.

“Jangankan itu, peladang kecil bila berurusan dengan hukum bisasanya akan mendapat efek berantai bagi kehidupan keluarganya. Atas tuduhan itu, kami meminta peladang seperti Gusti Maulidin dan yang kasusnya serupa, dilepaskan dari tuntutan sebagai penyebab karhutla,” pungkas Mardani.*

(Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *