Palangfka Raya – Aksi Demontrasi penolakan terhadap UU No.11 tahun 2020 terus dilakukan oleh elemen mahasiswa, buruh, Petani dan Aktivis Lingkungan serta berbagai elemen gerakan lainnya. Di Kota Palangkaraya pada tanggal 08 Oktober 2020.
Aksi demonstrasi dilakukan di depan kantor DPRD Provensi kalteng agar UU Omnibuslaw yang sudah di sahkan itu tetap ditolak, SBPB yang merupakan Organisasi buruh disektor perkebunan menyikapi dengan masih banyaknya pelanggaran ketenagakerjaan sebelum UU Ciptaker ini disahkan.
Binsar Ritonga Ketua Umum SBPB memaparkan catatan kritis,” Beberapa pandangan kami terkait masalah UU Ciptaker tersebut merupakan bagian melegalkan tindakan praktek buruk ketenaga kerjaan Dimana UUK masih banyak masalah yang dialami oleh kelas pekerja, beberapa pandangan dari SBPB terkait itu bahwa ;
Suatu ketika, dipembukaan tahun 2020, Presiden Joko widodo mengeluh Indonesia negeri kita cintai ini mengalami obesitas regulasi, akibatnya pemerintah kurang lincah dalam mengambil keputusan. Sampai disitu keluhan Presiden Joko Widodo bisa dimaklumi, hingga februari 2020 Indonesia sudah mempunyai 1687 UU, 4570 PP, 290 Perpre dan 14.500 Permen, ditambah lagi diseantero nusantara ini ada 15.965 Peraturan Daerah. Birokrasi Indonesia yang gemuk, dengan ego sektoral nya yang kuat berkontribusi over regulasi ini.Disamping itu, dalam system politik yang korup, regulasi menjadi “barang dagangan” barang elit politik.Tak mengherankan, banyak regulasi yang tak disusun dengan perencanaan yang matang dan berbasis kebutuhan masyarakat.
Masalahnya, over regulasi itu mencipkan birokratisme yang berbelit-belit, tumpang tindih aturan (over – lapping) dan sekaligu menciptakan celah bagi “ekonomi rente”.Kemudian, karena menjadi ‘Barang dagangan” Politik tak sedikit regulasi yang merugikan kepentingan umum.Karena itu setiap ide atau upaya untuk menyederhanakan, merapikan dan mengoreksi buruknya regulasi di Indoneia patut didukung.Tentu saja semangatnya harus mengabdi kepada kebaikan bersama atau kepentingan umum.
Nah, dalam kontek itu Pemerintahan Jokowi menyodorkan ide Omnibuslaw yang diharapkan bisa mengatasi obesita regulasi di Indonesia.Sederhananya Omnibuslaw adalah metode penyusunan UU yang mengatur banyak hal dalam satu paket aturan, sehingga tidak tumpang tindih dan saling bertentangan.Juga bisa diartikan sebagai metode hukum untuk menyederhanakan, merapikan dan mengoreksi berbagai regulasi.Sebagai metode, Omnibuslaw bisa menjadi terobosan yang progresif, yaitu memperbaiki dan mengoreksi banyak Undang – undang agar senapas dengan realitas kebutuhan masyarakat dan tuntutan perkembangan zaman. Namun sebagai metode pula, omnibuslaw bisa juga diperalat oleh rezim yang punya agenda deregulai yaitu membongkar pasang berbagai norma dan berbagai regulai agar terbuka atau adaptif dengan kepentingan masyarakat dan pasar. Bagi kami, ini yang perlu dicermati apakah Omnibuslaw ditangan Jokowi benar-benar untuk menyelesaikan problem obeitas regulasi? Ataukah, isu penyederhanaan regulasi hanya “kecao pemanis” untuk menutupi agenda regulai ugal-ugalan ?dan pertanyaan maha penting, apakah Omnibulaw bisa menjawab persoalan ekonomi nasional ?
Untuk itu kita perlu membedah proses pembentukan Omnibuslaw ini, konteks ekonomi politik yang melahirkannya, dan materi muatannya. Disini kita akan focus membahas rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja yang paling banyak diperdebatkan dan diprote oleh banyak pihak.
Problem Hukum Omnibuslaw
Sebetulnya sebagai metode penyusunan UU, Problem Omnibuslaw bukan pada system hukum yang dianut suatu Negara civil law atau common law sebab dalam tradisi Negara demokratis , system hukum itu bukan lah sebuah tembok besar yang menolak pengalaman, konsep atau metode hukum lain yang lebih maju. Belanda Negeri yang menganut civil law juga pernah menggunakan metode Omnibuslaw. Nah yang perlu diperiksa adalah proses pembentukan nya dan muatan materinya. Apakah proses pembuatan sudah sesuai dengan kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip Negara Demokratis ? Apakah muatannya sudah sejalan dengan cita-cita menyederhanakan dan mengoreksi obesitas regulasi Indonesia ? UU yang baik bukanlah UU yang lahi dari keinginan dan pembuatannya saja, yang merasa mengetahui apa yang diinginkan dan dikehendaki warga Negara, bagi kami UU yang baik harus sesuai dengan keinginan dan aspirasi warga Negara. Karena itu, partisipasi warga Negara menjadi syarat mutlak pembentukan UU sebagaimana disyaratkan dalam UU nomor 12 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan (UUP3). Disinilah masalah pertama muncul, sejak ide hingga terejawantah dalam bentuk draft, RUU Cipta kerja tidak pernah diperkaya dengan aspirasi dari masyarakat. Proses penyusunan draftnya tidak pernah membuka ruang untuk partisipasi masyarakat luas.
Jangankan itu, draftnya saja terkesan disembunyikan dipublik, sehingga menghilangkan kesempatan public untuk mengomentari, mengeritik dan memberikan masukan terhadap draft itu sebelum diserahkan ke DPR.Peroalan kedua, RUU Cipta kerja menyasar 1000an pasal di 79 UU multisektor.Masalahnya setiap UU punya paradigm tersendiri yang menjadi dasar pembentukannya. Anggaplah misalnya, UU nomor 32 tahun 2000 tentang perlindungan lingkungan hidup, paradigm pembentukannya adalah untuk kelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Namun RUU Cipta kerja membongkar beberapa norma yang menjadi jiwa utama UU tersebut, seperti izin lingkungan dan AMDAL, agar sejalan dengan kepentingan invetasi. Jadi, alih – alih tentang penyederhanaan dan harmonisai regulasi.RUU Cipta kerja sebetulnya adalah penyeragaman paraadigma semua regulasi agar terburka pada investasi.
Yang ketiga ; untuk pelaksanaan RUU Cipta kerja ini, setidaknya ada 516 norma delegasi ke tingkat PP, Perpres dan Perda, padahal kalau kita lihat, penggemukan regulasi itu paling banyak ada ditingkat PP, Perpre, Permen dan Perda. Jadi alih – alih mau mengurangi obesitas reguasi RUU Cipta kerja justru makin mempergemuknya, belum Omnibuslaw yang lain RUU Perpajakan, RUU Kefarmasian, RUU Ibu Kota Negara. Persolan lainnya, muatan dan cakupan RUU ini terlalu banyak dan luas, yang menyasar 79 UU multisektor dan 11 kluster, terdiri 174 pasal, dan tertorehkan di 1028. Disisi lain. Proses pembuatan dan pengesahannya terkesan dikebut (ditargetkan selesai Mei 2020) dengan muatan yang banyak dan luas itu. Partisipasi public untuk membedah pasal demi pasal terlalu sulit, kemudia, karena cakupannya yang multisektor dan menyasar 11 klater, apakah pembahasan nya di DPR akan menyebar berbagai komisi sesuai dan klasternya?
Ekonomi Politik Omnibuslaw
Mengingar bahwa taka da produk politik yang lahir dan ruang kosong semuanya berkelindang dengan kepentingan politik, maka selain mengulik problem hukum dan subtansi RUU ini, perlu juga menyelisik dinamika ekonomi politik yang melahirkannya.
Pertama, ada desakan Liberalisasi yang terus menguat pasca reformasi 1998, yang menerjang kehidupan politik, ekonomi dan social budaya kita.Agenda liberalisasi yang didiktekan dan dipaksakan oleh IMF, Bank dunia, WTO maupun berbagai perjanjian bilateral dan multilateral, mewarnai hampir semua pemerintahan pasca reformasi – dengan pengecualian pemerintahan Abdurahman Wahid. Beberapa isu yang diusung oleh RUU Cipta kerja, terutama pasar tenaga kerja dan pengupahan yang fleksibel, sudah menjadi deakan IMF sejak 1997 melalui Letter of intern (LoI) jadi bukan barang baru. Begitu juga dengan segala daya upaya untuk menghilangkan pembatasan terhadap impor, seperti termaktub dalam RUU Cipta kerja. Ini hanya bahasa lain dari liberasi perdagangan alias perdagangan bebas.
Setelah dua dekade agenda liberaliasi itu berjalan dengan puluhan UU, yang kadang terhambat oleh agenda politik nasionalistik dan perlawanan rakyat, sekarang hendak dituntaskan lewat satu ketukan palu saja ;Omnibuslaw.Kedua setelah 2 dekade bergulir reformasi 98 tak kunjung melahirkan lompatan kualitatif, partisipatif, inklusif, deliberative dan berkeadilan social.Yang terjadi kebebasan politik berhasil ditunggangi oleh elit-elit kaya yang berusaha mengawinkan agenda politik dengan kepentingan bisnisnya.Yang terjadi, kebebasan itu melahirkan Oligarki. Ini juga yang membuat proses demokrasi dinegara kita kearah illiberal yang ditandai oleh melemahkan kebebasan sipil dan menguatnya peran kelompok bersenjata. Saking parahnya, seperti diutarakan oleh Prof Jeffrey Winters, Oligarki inilah yang mengendalikan system politik Indonesia.Mereka yang mengendalikan partai politik dan pendanaan, mesin politik hingga tujuan politiknya.Mereka juga yang menguasai politik Indonesia dan segala regulasi yang dihasilkan nya.
Tidak mengherankan dalam dua dekade terakhir, dari 600 an UU yang disahkan hampir semuanya memihak kepentingan Oligarki, terutama yang terkait dengan pengelolaan Sumber daya Alam, Invetasi, Perdagangan, Perpajakan, Keuangan dll.Jadi RUU Ciptakerja mengakomodasi dua kepentingan yang saling bertalian yakni liberalisasi ekonomi dan kepentingan Oligarki.
Ketiga, sebelum datangnya pandemic covid -19, ekkonomi dunia sedang mengalami resesi Negara-negara yang ditopang oleh Industri yang kuat, yang dijejerkan sebagai kapitali paling maju, seperti AS, jerman, jepang, Inggris sudah di tubir resesi ekonomi. Pertumbuhan ekonomi hampir semua Negara itu dibawah 1 persen, bahkan pada kuartal terakhir 2019, pertumbuhan ekonomi Jerman jatuh ke angka nol, sedangkan jepang diminus 1,6 persen pertumbuhan ekonomi hampir semua Negara itu dibawah 1 persen, bahkan pada kuartal terakhir. Kemudian datang pandemic covid -19 yang meluluhlantakkan bangunan kapitalisme global. Berdasarkan laporan PBB, hampir 81 persen pabrik didunia terganggu produkinya, kemudian ada 3,3, milyar pekerja yang terdampak. Ratusan pasokan global terganggu, perdagangan global juga nyaris berhenti.
.
Bank Dunia menyebut krisis ekonomi yang dipicu pandemi sebagai yang terparah dalam 80 tahun terakhir atau sejak berakhirnya perang dunia ke-2.Sedangkan IMF menyebutnya sebagai kejatuhan ekonomi terburuk sejak depresi besar 1930-an.
Situasi ini tentu menjadi mimpi buruk bagi negeri-negeri yang menggantungkan jantung ekonominya, terutama investasi dan perdagangan, pada sirkuit kapitalisme global.Sebelum pandemi saja, investasi dan perdagangan sudah seret.Apalagi sekarang ini.
Nah, agar investasi asing yang sudah seret ini tetap mau mengalir ke Indonesia, jangan heran jika banyak kebijakan bergaya obral.Mulai dari kemudahan perizinan, diskon harga lahan, hingga penghapusan pajak.
Dan demi tujuan itu, RUU cipta kerja akan terus dikebut, agar menjadi “pesta diskon” bagi investor asing di tengah pandemi dan memudarnya kapitalisme global.
Muatan masalah dari sector Ketenagakerjaan
- RUU Cipta Kerja mengadopsi konsep fleksibilitas pasar tenaga kerja (labour market flexibility) yang lebih ekstrem dari UUK nomor 13 tahun 2003.
- RUU Cipta Kerja menghapus pasal 59 UUK, yang membatasi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) untuk jenis pekerjaan tertentu, dihapuskan. Dengan demikian, PKWT atau sistem kontrak bisa berlaku pada semua jenis pekerjaan, termasuk pekerjaan yang permanen.
- Kemudian pasal 66 UUK, yang membatasi alih daya (outsourcing) pada kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi (core production), juga diubah. Sebelumnya, outsourcing hanya boleh untuk kegiatan non-core production. Tetapi, UUK membolehkan outsourcing di semua lini produksi, termasuk core production.
- Dengan perluasan sistem kerja kontrak dan outsourcing itu, tak ada lagi kepastian kerja (job security). Semua orang yang bekerja rentan mengalami insucerity job. Bersama itu, tidak ada lagi kepastian akan pendapatan, tunjangan, penghargaan masa kerja, dan lain-lain.
- RUU Cipta Kerja memperpanjang durasi kerja. Jika sebelumnya sudah diperkenalkan 7 jam sehari untuk 6 hari kerja atau 8 jam sehari untuk 5 hari kerja, maka di RUU Cipta Kerja membolehkan 8 jam kerja sehari. Bahkan, ada pasal sisipan (pasal 77 A), yang membolehkan pengusaha menerapkan jam kerja lebih dari 8 jam sehari dan 40 jam seminggu. Waktu kerja lembur juga diperpanjang dari 3 jam sehari atau 14 jam seminggu menjadi 4 jam sehari dan 18 jam seminggu.
- Banyak riset yang menunjukkan, jam kerja yang panjang tak berbanding lurus dengan produktivitas. Seperti riset OECD, negara dengan jam kerja yang pendek, seperti Jerman (26,3 jam per minggu), Norwegia (27,3 jam per minggu), Denmark (27,2 jam per minggu), justru produktivitasnya lebih tinggi dibanding negara dengan jam kerja di atas 40 jam per minggu. Yang kerap terjadi, jam kerja yang panjang menyebabkan waktu istirahat pekerja sangat singkat, sehingga kerap mengalami stress dan tekanan psikologis lainnya, bahkan bunuh diri. Di banyak negara maju dan beradab, jam kerja justru dikurangi, agar pekerja punya lebih banyak waktu luang dengan keluarganya dan mengembangkan kapasitas dirinya (kursus, lanjut sekolah, dll).
- RUU Cipta Kerja juga mengenalkan fleksibilitas upah, dengan memperkenalkan upah berdasarkan satu waktu dan satuan hasil (pasal 88b). Dengan begitu, sangat mungkin di suatu hari, upah dihitung per jam atau hitung per hasil kerja.
- Selain itu, RUU ini juga menyederhanakan upah minimum menjadi hanya Upah Minimum Provinsi (UMP). Artinya, upah minimum kabupaten/kota dan upah minimum sektoral akan dihilangkan. Masalahnya, akibat pembangunan dan kawasan industri yang terkonsentrasi, kebutuhan hidup layak tiap kota/kabupaten dalam provinsi bisa berbeda jauh.
- Selain itu, RUU ini memperkuat model penghitungan upah sesuai PP 78/2015, yang berbasiskan pertumbuhan ekonomi: UMt+1 = UMt + (UMt x %PEt). Skema upah ini hanya akan memperparah ketimpangan upah antar daerah. Bagaimana dengan daerah yang pertumbuhan ekonominya minus seperti Papua? Sementara harga-harga cenderung naik, tapi upah nominal justru turun.
- Di sisi lain, RUU ini memperkenalkan hal baru, yaitu pengaturan upah untuk pekerja UMKM. Di satu sisi, hal ini progressif, karena selama ini upah UMKM tidak diatur dan hanya berdasarkan kesepakatan dengan pemberi kerja. Di sisi lain, karena dasar penghitungannya berdasarkan garis kemiskinan, maka nilainya bisa sangat tidak manusiawi. Sebagai contoh, garis kemiskinan DKI hanya Rp 650 ribu, berarti upah pekerja UMKM hanya segitu. Kalau pun dihitung berdasarkan kelurga (yang dihitung rata-rata 4 anggota keluarga), berarti upahnya hanya di kisaran Rp 2,6 juta (hanya separuh dari UMP DKI).
- RUU ini menghilangkan peran pemerintah dan serikat pekerja dalam mencegah PHK. Kemudian PHK hanya dianggap urusan antara pengusaha dan pekerja. Masalahnya, ketika daya tawar buruh rendah, tanpa didampingi pemerintah atau serikat, PHK menjadi gampang terjadi. Selain itu, di RUU ini ada pasal sisipan yang memungkinkan perusahaan melakukan PHK tanpa prosedur kesepakatan/pengadilan industrial, diantaranya karena alasan efisiensi, perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan memaksa (force majeur), dan perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan niaga.
- Pasal 156 RUU Cipta Kerja juga menghapus kewajiban perusahaan untuk memberikan uang penggantian hak, menghapuskan ketentuan spesifik mengenai kompensasi untuk tiap-tiap alasan pemutusan hubungan kerja, serta mengurangi perhitungan maksimum uang penghargaan kerja. Tentu saja, dengan hilangnya kewajiban2 itu, pengusaha tak perlu khawatir beban biaya karena PHK.
- Memang, RUU ini ada pasal pemanis (sweetener) bagi pekerja aktif, yaitu pemberian penghargaan berdasarkan masa kerja. Masa kerja di bawah 3 tahun mendapat uang sebesar 1 kali upah. Platform teratasnya, 12 tahun atau lebih, mendapat 5 kali upah. Namun, uang pemanis ini tak berlaku bagi pekerja sektor UMKM.
- Hal yang baru juga adalah diperkenalkannya konsep flexicurity, yaitu jaring pengaman bagi korban PHK akibat fleksibilitas pasar tenaga kerja. Bentuk flexicuritynya adalah jaminan kehilangan pekerjaan. Masalahnya, jika melihat pasal 46C dan 46E RUU ini, konsepnya adalah asuransi sosial. Jadi, pekerja menjadi peserta program Jaminan Kehilangan Pekerjaan dengan membayar premi (yang dibayarkan lewat pemotongan gajinya per bulan). Jadi, alih-alih menawarkan flexicurity yang benar, ini mengalihkan beban PHK pada pundak pekerja.” ucapnya.
(Tn/jn)